PENGARUH PEMERINTAH UNTUK MENGATASI KONDISI EKONOMI
Indonesia yang diproklamasikan pada 1945, telah berusia 64 tahun pada 2009 ini. Sepanjang usia tersebut telah terjadi beberapa kali pergantian kepala negara (presiden). Tokoh-tokoh yang pernah menjadi kepala negara adalah Soekarno (1946-1965), Soeharto (1965-1997), BJ. Habibie (1998-1999), KH. Abdurrahman Wahid (1999-2001), dan Megawati Soekarno Putri (2001-2004). Keseluruhan kepala negara tersebut dipilih secara tidak langsung oleh rakyat.
Memasuki tahun 2005 dan merupakan pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hasil pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dengan wakil presiden M Jusuf Kalla (JK). Pemerintahan SBY- JK berlangsung sejak 2005 dan berakhir 2009. Selanjutnya, pasangan ini pun berganti akantetapi SBY tetap menjadi Presiden yang berpasangan dengan Boediono yang merupakan mantan Gubernur BI. Pemilihan Boediono mungkin diambil SBY untuk menstabilkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Apakah peran Boediono dapat menstabilkan perekonomian Negara?? kita lihat 5 tahun ke depan apakah perubahan itu terjadi? atau Negara kita tetap saja seperti ini.
Memang tantangan bagi duet SBY-Boediono dalam lima tahun mendatang tidaklah ringan. Boleh jadi, itulah yang membuat target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan duet ini di masa kampanye lalu tak seperti dua pasangan capres-cawapres lainnya. Pada akhir masa kepemimpinannya, SBY-Boediono berjanji membuat pertumbuhan ekonomi stabil di angka 7%.
Angka ini boleh dibilang sangat aman dicapai oleh keduanya dalam situasi ekonomi global pada saat ini. Namun, saya optimistis, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih dari angka tersebut. Setidaknya, dengan berbagai pembenahan yang selama ini menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan mengefektifkan daya dorong fiskal dan moneter, meningkatkan koordinasi pemerintahan, serta memperbaiki sektor yang kinerjanya lemah, seperti infrastruktur, manufaktur, pertanian, pertambangan dan energi, saya optimistis, angkanya bisa mencapai 9%.
Memang skenario pertumbuhan tinggi tidak bisa dicapai hanya dengan do nothing case. Kondisi perekonomian Tanah Air yang telah mengalami proses pemulihan akan membuat laju pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia hanya sekitar 6% jika tidak ada perubahan stuktur ekonominya. Kondisi ini jelas tidak menggembirakan karena untuk dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka kemiskinan saja, dibutuhkan laju ekonomi sekitar 6,7%.
Negeri ini harus mampu mengubah tren pertumbuhan jangka panjangnya menjadi di atas 7%. Angka ini cukup aman lantaran tidak membuat ekonomi terlalu panas, tapi mampu membuka lapangan kerja yang cukup, menurunkan kemiskinan, sekaligus menciptakan kondisi sosial yang stabil.
Setidaknya butuh guyuran investasi ekstra untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonomi tinggi. Pertumbuhan investasi riil rata-rata harus dijaga sekitar 10% dalam lima tahun ke depan. Untuk mencapai pertumbuhan 6,3% pada 2014, pemerintah menargetkan angka investasi yang dibutuhkan adalah Rp 3.774 trilyun dari sebelumnya Rp 1.979 trilyun pada 2010. Dengan angka investasi yang tidak terlalu berbeda itu, pada hemat saya, sebetulnya angka pertumbuhan di akhir 2014 bisa mencapai 9%.
Skenario ini, salah satunya, tentu harus diikuti dengan tingkat pertumbuhan konsumsi semua elemen. Mulai konsumsi rumah tangga dan pemerintah, investasi, hingga ekspor dan impor barang dan jasa. Konsumsi pemerintah serta impor barang dan jasa harus menjadi lokomotif skenario pertumbuhan riil berdasarkan pembelanjaan masing-masing mencapai 10,4% dan 10,6%.
Harap dicatat bahwa peran belanja pembangunan pemerintah memang tak bisa dianggap sepele menuju pertumbuhan ekonomi tinggi. Dengan asumsi komposisi pemerintah-swasta 35:65, dibutuhkan peran pemerintah Rp 1.418 trilyun pada 2014 untuk mencapai pertumbuhan 9%. Angka nominal ini hanya terpaut sedikit dengan target pemerintah yang mencapai Rp 1.334 trilyun dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi di bawah 7%.
Target pertumbuhan ekonomi tinggi itu menuntut terus meningkatnya produk domestik bruto (PDB) sepanjang lima tahun mendatang. Diperkirakan, angka PDB meningkat menjadi US$ 6.092 pada 2014, dengan asumsi nilai tukar yang relatif stabil.
Lantaran menghadapi tantangan yang tidak mudah, pemerintah ke depan harus lebih serius memperbaiki kinerja ekonominya. Jika tidak, rasanya sulit untuk bisa keluar sebagai pemenang di era globalisasi ini. Apalagi, angka kemiskinan dan pengangguran masih terus menjadi ancaman stabilitas nasional.
Pada masa-masa awal setelah Indonesia merdeka, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, bahkan dikatakan mengalami stagflasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Tambunan (2001), bahwa pada masa awal setelah Indonesia merdeka, defisit neraca pembayaran dan keuangan pemerintah sangat besar, inflasi mencapai 500%. Pada periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial. Produk Domestik Bruto lebih didominasi oleh sektor pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersial.
Sekitar tahun 1957-1958 dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan merupakan awal dari periode ekonomi terpimpin (guided economy). Setelah sistem ekonomi terpimpin dicanangkan, sistem ekonomi Indonesia lebih dekat ke pemikiran sosialis komunis, sekalipun ideologi Indonesia adalah Pancasila. Sebenarnya, pemerintah secara khusus masyarakat Indonesia memilih haluan politik yang berbau komunis hanya merupakan refleksi anti kolonialis, anti imperialis dan anti kapitalis. Pada saat itu prinsip-prinsip individualisme, persaingan bebas dan perusahaan pribadi swasta sangat ditentang karena sering dikaitkan dengan kapitalis. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapatkan dana dari negara-negara Barat dalam bentuk pinjaman maupun Penanaman Modal Asing (PMA).
Memasuki pemerintahan Orde Baru yakni pada Maret 1966, perhatian pemerintah tertuju pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial. Pada masa Orde Baru, pemerintah mulai menjalin kembali hubungan dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh idiologi komunis. Indonesia kembali menjadi anggota Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dan Bank Dunia serta International Monetery Fund (IMF). Sasaran pembanguan ditujukan untuk menekan inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, ekspor. Hingga tahun 1981, pertumbuhan PDB nampak mengalami kenaikan yang cukup berarti.
Kinerja pembangunan ekonomi sejak Orde Baru hingga pemerintahan SBY-JK dilihat dari beberapa indikator ekonomi yang dapat dicatat menunjukkan hasil yang bervariasi. Dilihat dari Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 1960-1966 sekitar 1,90 dan menjadi 82,5 pada tahun 83-an (Tambunan, 2001). Sementara pada 1995 sebesar 8,2 dan pada tahun 1996 hingga 2000 pertumbuhan PDB mengalami penurunan dari 7,82 hingga tinggal 4,77 saja. Saat krisis ekonomi terjadi pada 1998, PDB sempat mengalami pertumbuhan negatif sebesar -13,20.
Angka kemiskinan pada tahun 1981 sekitar 31,3 juta jiwa (26,5%) di pedesaan, sementara di perkotaan sebanyak 9,3 juta jiwa (28,1%). Kurang dari sepuluh tahun kemudian yakni tahun 1990 kemiskinan di pedesaan mengalami penurunan yang signifikan mencapai 17,8 juta jiwa atau sekitar (14,3%) dan di perkotaan justru mengalami kenaikan mencapai 9,4 Juta jiwa walaupun secara persentase mengalami penurunan sekitar 11,3% menjadi 16,8%.
Terpaan krisis ekonomi tahun 1998 berdampak pada angka kemiskinan mengalami kenaikan yang begitu tajam. Di pedesaan jumlah penduduk miskin sebesar 31,9 juta jiwa atau 25,7%, sementara diperkotaan jumlah penduduk miskin sebanyak 17,6 juta jiwa atau sekitar 21,9%. Walaupun tahun berikutnya yakni ada 1999 angka kemiskinan berhasil diturunkan menjadi tinggal 25,1 juta jiwa (20,2%) di pedesaan dan 12,4 juta jiwa (15,1%) di perkotaan. Pada tahun 2004 tingkat kemiskinan sebesar 16,5%, pada 2006 tingkat kemiskinan sebesar 17,6%, tahun 2007 (16,6%) dan pada 2008 (15,4%).
Tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004 sebesar 5,1 % dan pada 2005-2007 rata-rata sekitar 7% lebih tinggi jika dibandingkan era reformasi 1990-1997 sekitar 5%. Era Orde Baru dari 1966-1997 mampu mencapai pertumbuhan ekonomi terttinggi tahun 1980 yakni sebesar 9,9%,. Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie (1998-1999) dan pada masa Presiden Abdurahman Wahid (1999-2001), pertumbuhan ekonomi berubah dari negatif menjadi positif sebesar 12,3% (yoy), sekalipun fungsi perencanaan dan pelaksanaan APBN tidak sepenuhnya dilakukan (Azis, 2008). Sementara pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004), mampu menjaga pertumbuhan ekonomi secara stabil dan menunjukkan peningkatan terus menerus tiap tahunnya.
Pengangguran terbuka menjadi persoalan penting bagi negara-negara berkembang termasusk Indonesia, siapapun yang menjadi kepala negara. Dalam sepuluh tahun terakhir jumlah pengangguran terbuka sebanyak 6,03 juta jiwa pada tahun 1999. Pada tahun 2004 jumlah penganguran mengalami peningkatan hingga mencapai 10.83 juta jiwa (BPS,2006). Awal 2009 jumlah pengangguran terbuka mencapai 9,26 juta atau sekitar 8,14% dan mengalami penurunan dibanding tahun 2008, sebesar 8,46%.
Indikator kinerja ekonomi yang dipaparkan di atas merupakan sekelumit fakta yang hanya melihat dari salah satu sisi internal saja dan berdasarkan fase pemerintahan yang berkuasa. Tanpa bermaksud mengesampingkan perlunya melihat dari sisi eksternal, paparan di atas memunculkan pertanyaan besar seberapa jauhkah pemerintahan telah mampu membangung bidang ekonomi yang menciptakan kesejahteraan masyarakat. Terlebih jika dikaitkan dengan fenomena terkini berkaitan dengan perdebatan mainstream ekonomi yang menyeruak menjelang pilpres 2009.
Sejarah membuktikan bahwa pilihan salah satu faham ekonomi tidak selalu mampu mengatasi persoalan ekonomi negara. Keberhasilan kaum liberal mengatasi krisis Amerika pada tahun 1930-an seolah menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang diserahkan mekanisme pasar adalah obat yang ampuh. Terlebih jika dikaitkan dengan runtuhnya Uni Soviet yang nota bena merupakan bukti kegagalan sistem sosialis. Namun pada tahun 2008 Amerika juga diterpa krisis keuangan (Prasetyantoko, 2008) sebagai dampak dari liberalisasi.
Namun, jika sedikit menengok keberhasilan negara-negara The Asian Miracle yakni Korea Selatan, Hongkong, Singapura, dan Taiwan menujukkan hal yang berlainan. Sekalipun sandaran pada salah satu maisntream, bahkan Hongkong benar-benar menyandarkan pada prinsip laisees faire namun campur tangan pemerintah.